Jumat, 25 Januari 2019

DIANTARA AKHLAK RASÛLULLÂH ﷺ

Diantara perintah Allâh Azza wa Jalla kepada kita adalah perintah agar kita mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]
Untuk meneladani dan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya. Maka pada hari ini, kita akan sedikit saling mengingatkan tentang keagungan pribadi dan akhlak Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semoga dengan mengenal dan terus mengingatnya, kita akan semakin terpacu untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pribadi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pribadi yang sangat agung, yang menjunjung tinggi akhlak mulia. Akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memadukan antara pemenuhan terhadap hak Allâh, sebagai Rabbnya dan penghargaan kepada sesama manusia. Dengannya, hidup menjadi bahagia dan akhirnya berbuah manis.
Bagaimanakah akhlak Rasûlullâh itu? Berikut diantaranya :
Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang banyak sekali bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-nikmat-Nya dan sering bertaubat dan beristigfâr. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sampai kedua kaki beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bengkak, sehingga ada yang mengatakan :
يَا رَسُوْلَ اللهِ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
Wahai Rasûlullâh! Allâh telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lewat dan yang datang?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ringan menjawab, “Apakah aku tidak mau menjadi hamba yang banyak (pandai) bersyukur?! ”
Meski beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat pandai bersyukur kepada atas segala limpahan nikmat-Nya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap saja banyak beristighfâr, memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً
Demi Allâh! Sesungguhnya aku beristigfar, memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla lebih dari 70 kali dalam sehari.[1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat takut terhadap murka Allâh Azza wa Jalla . Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat gumpalan awan, terlihat di wajah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam isyarat seakan tidak suka. Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah menanyakan hal tersebut, “Wahai Rasûlullâh! Orang-orang umumnya senang melihat gumpalan awan karena berharap guyuran hujan, sementara engkau terlihat tidak suka.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَاعَائِشَةُ وَمَا يُؤْمِنُنِى أَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ عَذَابٌ قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيْحِ
Wahai Aisyah! Adakah yang memberi jaminan kepadaku bahwa tidak ada adzab dibalik awan itu? Karena ada juga kaum yang diadzab dengan menggunakan angin.
Meski demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berani. Pada suatu malam penduduk Madinah dikejutkan oleh suara keras, sehingga mereka semuanya bergegas menuju kearah suara. Saat mereka sedang berangkat menuju sumber suara, justru mereka berjumpa dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang dalam perjalanan pulang dari sumber suara. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi sumber suara sebelum yang lain.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seorang yang sangat lembut dan tidak tergesa-gesa . Suatu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjumpa dengan seorang Arab Badui lalu orang itu menarik selendang yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kenakan dipundak sehingga meninggalkan bekas pada pundak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu orang itu berkata,”Wahai Muhammad, berilah aku sebagian dari harta yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadamu!” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak marah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan menyuruh kepada para shahabatnya agar memberikan sesuatu kepada orang ini[2]
Kisah lain datang dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu yang pernah tinggal dan membantu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun, baik dalam perjalanan maupun ketika di rumah. Anas Radhiyallahu anhu menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 10 tahun tidak pernah mengatakan ‘Uh” kepadanya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah menyalahkan Anas Radhiyallahu anhu terhadap apa yang dilakukan, dengan mengatakan, “Kenapa engkau melakukan ini?” atau terhadap apa yang tidak dilakukan, dengan mengatakan, “Kenapa enkau tinggalkan?”[3]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul siapapun dengan tangan beliau, meskipun seorang pembantu kecuali dalam kondisi jihad fi sabilillah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah melakukan aksi pembalasan terhadap semua perlakuan buruk yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam alami kecuali jika perlakukan buruk tersebut sudah masuk kategori pelanggaran terhadap apa yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla , maka saat itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pembalasan karena Allâh Azza wa Jalla[4]
Betapa tinggi serta mulia akhlak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-Qalam/68:4]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling agung, paling mulia dan paling luhur akhlaknya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan perbuatan nista, tidak pernah mencela dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah tipe orang yang suka melaknat.[5]
Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi dua pilihan, maka beliau akan memilih yang paling ringan dan mudah selama pilihan yang paling ringan dan mudah itu tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling darinya[6]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah seorang yang sangat dermawan terutama pada bulan Ramadhan. Kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalahkan angin yang berhembus. Jika ada yang meminta sesuatu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas nama Islam, maksudnya untuk memotivasinya agar masuk, maka pasti beliau akan berikan, meskipun itu besar. Perhatikanlah ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada seorang arab badui yang meminta ghanimah. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ghanimah yang sangat banyak karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berharap orang ini dan pengikutnya mendapatkan kebaikan. Setelah mendapatkan ghanimah yang sangat banyak tersebut, orang itu pulang ke kaumnya dan mengatakan :
يَاقَوْمِ أَسْلِمُوْا فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءَ مَنْ لاَ يَخْشَى الْفَاقَةَ
Wahai kaumku, masuklah kalian ke agama Islam, karena Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sesuatu sebagaimana pemberian orang yang tidak takut kemiskinan[7]
Akhlak mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikutnya adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat zuhud terhadap dunia, padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam Rasûlullâh , utusan Allâh Azza wa Jalla , Rabb yang maha kaya. Jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan dunia, maka pasti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mendapatkannya, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menginginkannya. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan antara hidup di dunia semaunya ataukah menemui Rabbnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk menemui Rabbnya, maksudnya meninggal[8]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menahan lapar selama berhari-hari, karena tidak memiliki makanan yang bisa digunakan untuk mengganjal perut.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan harta warisan berupa emas, perak maupun binatang ternak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya meninggalkan senjata dan baju besi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang digadaikan kepada seorang yahudi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Subhanallah, bagaimanakah dengan kita?! Padahal beliau adalah Rasûlullâh, yang pasti terjaga dan tidak akan terfitnah oleh dunia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin juga sangat perhatian dengan umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang jalan untuk melihat dari dekat keadaan para janda dan orang-orang miskin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam penuhi panggilan atau undangan mereka dan jika mampu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi kebutuhan mereka[9]
Pergaulan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya sebatas orang-orang dewasa saja, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang mendatangi dan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil serta mencandai mereka. Namun perlu diingat bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan perkataan dusta, meski sedang bercanda. Pernah ada yang mengatakan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا قَالَ إِنِّي لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا
Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya engkau mencandai kami,” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya saya tidak mengucapkan apapun kecuali yang benar.[10]
Itulah sedikit gambaran akhlak Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , orang yang diutus oleh sebagai rahmat bagi seluruh alam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al-Anbiya’/21:107]
(Diangkat dari ad-Dhiyâ’ul Lâmi minal Khutabil Jawâmi, 5/134)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
__________
Footnote
[1] HR al-Bukhâri, no. 6307 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2] HR al-Bukhâri, no. 3149 dan Muslim, no. 1057 dari Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[3] HR al-Bukhâri, no. 2768 dan Muslim, no. 2309 dari Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[4] HR Muslim, no. 2328 dari hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma
[5] Lihat hadits riwayat Imam al-Bukhâri, no. 3559 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma juga no. 6046 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[6] HR al-Bukhâri, no. 3560 dari Aisyah Radhiyalahu anhuma
[7] HR Muslim, no. 2312 dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[8] HR al-Bukhâri, no. 466 dan Ibnu Hibban, 14/558 (6594) dari hadits Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[9] HR an-Nasa’i, 3/109, no. 1413, dari hadits Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu anhu
[10] HR. al-Bukhâri dalam Adabul Mufrad, no. 265 dan at-Tirmidzi, no. 1990 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
Sumber https://almanhaj.or.id/10831-diantara-akhlak-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-2.html

Kamis, 24 Januari 2019

PERPECAHAN UMAT ISLAM



Tulisan ini mengacu pada muhadharah Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman di Surabaya. Disusun secara bebas dengan dirujukkan ke beberapa kitab,
oleh Ahmas Faiz bin Asifuddin
______________________________________________________________________
Tidak syak lagi, bahwa perpecahan merupakan fitnah besar yang melanda umat Islam. Fitnah yang gelombangnya laksana gelombang lautan ini muncul sesudah terbunuhnya Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.
Dalam hadits yang dikeluarkan oleh banyak imam, di antaranya Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih masing-masing, berasal dari seorang tabi’i bernama Syaqiq, dari seorang sahabat besar, Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
كُنَّا عِنْدَ عُمَرَ فَقَالَ : أَيُّكُمْ يَحْفَظُ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْفِتْنَةِ كَمَا قَالَ ؟ قَََََاَل : قُلْتُ : أَنَا. قَالَ : إنَّكَ لَجَرِيءٌ ، وَكَيْفَ قَالَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : سَمِعْتُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : ” فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ َونَفْسِهِ وِوَلَدِهِ وَجَارِهِ، يُكَفِّرُهَا الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَالأَمْرُ بِالمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ المُنْكَرِ” . فقَالَ عُمَرُ : لَيْسَ هَذَا أُرِيْدُ ، إِنَّمَا أُرِيْدُ الَّتِي تَمُوْجُ كَمَوْجِ اْلبَحْرِ، قَالَ : فَقُلْتُ : مَا لَكَ وَلَهَا يَا أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ ؟! إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا. قَالَ : فَيُكْسَرُ الْبَابُ أَمْ يُفْتَحُ ؟ قَالَ : قُلْتُ : لاَ ، بَلْ يُكْسَرُ. قَالَ : ذَاكَ أَحْرَى أَنْ لاَ يُغْلَقَ أَبَدًا .
قَالَ: قُلْنَا لِحُذَيْفَةَ : هَلْ كَانَ عُمَرُ يَعْلَمُ مَنِ الْبَابُ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، كَمَا أَنَّ دُوْنَ غَدٍ اَلََّلْيَلةَ، إِنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيْثًا لَيْسَ بِالأَغَالِيْطِ .
قَالَ : فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَ حُذَيْفَةَ : مَنِ اْلبَابُ ؟! فَقُلْنَا لِمَسْرُوْقٍ : سَلْهُ ، فَسَأَلَهَ. فقَالَ : عُمَرُ.

“Kami berada di hadapan (Khalifah) Umar (bin Khattab). Ia bertanya,”Siapakah di antara kalian yang hafal hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam tentang fitnah, persis seperti yang beliau sabdakan?” Hudzaifah berkata, “Saya menjawab,’Saya’.” Umar berkata,”Sesungguhnya engkau benar-benar berani, bagaimana beliau bersabda?” Hudzaifah berkata,”Saya menjawab,’Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwa sallam bersabda: Fitnah seorang laki-laki di tengah keluarganya, hartanya, dirinya, anaknya dan tetangganya, dapat dihapuskan dengan puasa, shalat, shadaqah dan amar ma’ruf nahi mungkar’.”
Umar berkata,”Bukan itu yang aku kehendaki. Tetapi yang aku kehendaki ialah fitnah yang bergelombang laksana gelombang lautan.” Hudzaifah berkata,” Maka saya katakan,’Mengapakah engkau bertanya tentang itu, wahai Amirul Mu’minin?! Sesungguhnya di antara dirimu dengan fitnah itu terdapat pintu yang tertutup’.”
Umar bertanya,”Apakah pintu itu akan pecah ataukah (hanya) akan terbuka?” Hudzaifah menjawab,“Tidak, bahkan pintu itu akan pecah.” Umar berkata,”Itu berarti lebih layak untuk tidak akan tertutup selama-lamanya.”
Syaqiq berkata,”Kami bertanya kepada Hudzaifah, apakah Umar mengetahui siapakah pintu itu? Hudzaifah menjawab,“Ya, seperti halnya ia mengetahui, bahwa sebelum esok adalah malam nanti. Sesungguhnya aku telah menceritakan kepada Umar hadits yang tidak keliru (betul-betul datangnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihiwa sallam ).”
Syaqiq berkata lagi,“Selanjutnya kami segan untuk bertanya kepada Hudzaifah, siapakah pintu itu? Maka kami berkata kepada Masruq: Tanyakanlah kepada Hudzaifah (tentang siapakah pintu itu)?” Masruq pun bertanya. Maka Hudzaifah menjawab,“(Ia adalah) Umar.” [1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan fitnah itu seolah-olah terkurung dan tersekap di dalam suatu ruangan. Ruangan ini mempunyai pintu. Sedangkan pintunya jika sampai patah, maka selama-lamanya tidak akan bisa tertutup kembali. Sehingga fitnah akan terlepas dan tidak kembali lagi ke dalam kamar.
Pintu yang dimaksud adalah Umar. Bila beliau wafat, berarti pintu itu terbuka, tetapi mungkin akan bisa tertutup kembali. Tetapi jika beliau terbunuh (dalam bahasa hadits “patah”), maka pintu itu tidak tertutup lagi hingga hari kiamat. Ternyata Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan oleh Hudzaifah di atas.
Fitnah betul-betul melanda kaum Muslimin sepeninggal Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhum. Dan semakin ganas sejalan dengan perjalanan waktu yang kian panjang, laksana gelombang air laut yang dahsyat.
Fitnah itu terwujud secara nyata dalam bentuk perpecahan umat. Di mana-mana terjadi perselisihan hebat. Dan ini merupakan sunnah kauniyah (ketetapan taqdir dari Allah) yang tidak dapat terelakkan, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraqul ummah.
Bagaimana jalan keluar dari kenyataan perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah ini?
Allah tidak menurunkan suatu penyakit (yang merupakan sunnah kauniyah), kecuali pasti menurunkan obatnya yang merupakan sunnah syar’iyah.
Untuk menjawab pertanyaan di atas Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, seorang Ulama dari Yordania dan pernah ke Surabaya dalam suatu daurah syar’iyyah, menyebutkan dua buah hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan penyakit serta obatnya.
Pertama : Hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah. Di dalamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. [HR Abu Dawud dan Tirmidzi] [2]
Dalam hadits tersebut Rasulullah n memberitakan tentang penyakit dan obatnya. Beliau memberitakan tentang penyakit perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah. Kemudian menyebutkan bagaimana cara pengobatannya (yang merupakan sunnah syar’iyah).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak”. Perselisihan yang banyak ini merupakan penyakit. Dan kini hal itu betul-betul terbukti.
Bagaimanakah obatnya? Obatnya, ialah kelanjutan hadits tersebut, yaitu “Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”.
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”, beliau menggunakan dhamir “haa” pada “’alaihaa” (menunjukkan satu), bukan “humaa atau ’alaihimaa”(menunjukkan dua). Sebab Sunnah para Khulafa’ur Rasyidun sebenarnya adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. Jadi hanya satu sunnah saja.
Dengan kata lain, perpecahan merupakan sunnah kauniyah disebabkan oleh tidak berpegang kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Begitu juga segala kemaksiatan lain, terjadi sesuai dengan kehendak kauniyah (ketetapan taqdir) Allah. Bukan kehendak syar’iyah (ketetapan syari’at) Allah.
Perpecahan serta fitnah pasti terjadi sebagai sunnah kauniyah. Sedangkan obatnya adalah mengikuti sunnah syar’iyyah. Yaitu berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun.
Kedua : Hadits tentang perpecahan umat. Bahwa kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh para Imam Ahli Hadits, di antaranya, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Hakim dan lain-lain. Hadits ini adalah hadits hasan, [3] dan telah diterima sebagai hujjah oleh para ulama Ahlul Hadits.
Golongan-golongan umat Islam yang sebanyak 73 kelompok ini, hanya satu yang ada di surga. Tujuhpuluh dua golongan lainnya ada di dalam neraka. Maksudnya, mereka adalah golongan yang diancam sebagai penghuni neraka, bukan golongan kafir yang kekal di dalam neraka. Sebab tidak setiap yang dinyatakan ada di dalam neraka, mesti kafir dan kekal di dalamnya.
Ada bukti yang menunjukkan demikian, yaitu dalam hadits shahih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
ِصنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ، رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ المَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya. Yaitu; Suatu kaum yang membawa-bawa cemeti laksana ekor sapi yang digunakan untuk memukuli orang (maksudnya, para kaki tangan penguasa yang zhalim, pen.), dan kaum wanita yang berpakaian tetapi terlihat auratnya, congkak dan jalannya melenggang-lenggok, sedangkan kepalanya seperti punuk onta yang miring (karena rambutnya dimodel sedemikian rupa, pen.). Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian”. [HR. Muslim] [4]
Kaum penguasa zhalim serta wanita penghuni neraka yang disebutkan dalam hadits di atas, tidak bisa dikatakan sebagai orang-orang kafir yang kekal di dalam neraka. “Kecuali mereka menghalalkan tindakannya itu setelah memahami keharamannya.” Seperti dikatakan oleh Imam Nawawi. [5]
Selanjutnya, hadits tentang perpecahan umat ini menjelaskan betapa dahsyat perpecahan di antara kaum Muslimin. Dan itu merupakan sunnatullah al kauniyah (ketetapan taqdir Allah). Ini jelas merupakan penyakit, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah.
Obatnya ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bagian akhir hadits, ketika menjelaskan jalan apakah yang ditempuh oleh golongan yang selamat. Yaitu (menurut salah satu riwayat):
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
(Yaitu) apa yang hari ini, aku dan sahabatku berada di atasnya. [6]
Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “hari ini”? Sebab, pada hari ketika Nabi hidup itulah agama (Islam) sempurna. Sehingga mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya seperti pada saat beliau masih hidup, merupakan satu-satunya obat untuk menyembuhkan penyakit perpecahan umat. Artinya, pemahaman umat Islam harus dikembalikan kepada pemahaman seperti ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Sebab pemahaman terhadap Islam sebagaimana pemahaman yang ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan satu-satunya pemelihara bagi umat dari perpecahan.
Dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menyebutkan sunnah beliau saja, tetapi bahkan menyebutkan sunnah sahabat. Menunjukkan, bahwa sunnah beliau terwujud dalam sunnah para sahabatnya. Siapa yang ingin sampai kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka harus menempuh sunnah para sahabat juga.
Tetapi untuk kembali kepada jalan yang ditempuh oleh Nabi serta para sahabatnya memerlukan ilmu. Yaitu ilmu yang dapat mengantarkan menuju jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dengan kata lain, ilmu harus didahulukan daripada logika. Itulah sebabnya, obat bagi penyakit perpecahan ialah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“(Yaitu) apa yang hari ini, aku dan sahabatku berada di atasnya”.
(Yakni, obatnya ialah Islam sebagaimana yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadi perpecahan-pen). Obatnya bukan seperti yang ditempuh oleh golongan hizbiyah, oleh madzhab, oleh gerakan, pendapat, politik atau yang lain-lainnya.
Perselisihan dan perpecahan tetap terjadi dan semakin dahsyat. Allah tidak akan memberi anugerah untuk bisa tetap istiqamah berpijak pada jalan yang benar dan keluar dari fitnah ini, kecuali jika seseorang itu memahami bagaimana cara beristiqamah dan lepas dari fitnah tersebut.
Demikian isi ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman yang kami nukil secara sangat ringkas dengan bahasa bebas.
Intinya, perpecahan umat Islam merupakan sunnah kauniyah. Obatnya ialah dengan menjalankan sunnah syar’iyyah. Hanya kaum Muslimin yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan para sahabatnya saja yang dapat selamat dari fitnah ganas tersebut. Dan itu harus diperjuangkan, yaitu dengan rajin mempelajari ajaran Islam dari sumbernya secara benar, melalui tangan atau kitab para ulama Ahlu Sunnah, dan dengan senantiasa memperhatikan nasihat para ulama tersebut. Membuang gagasan atau pemahaman baru. Tidak merasa congkak hanya bersandar pada logika atau pemikiran pribadi, kelompok ataupun jama’ah tertentu. Apalagi mencerca dan memaki ulama serta merasa bangga dengan kegiatan golongannya dan murka jika mendapatkan kritik. Maka, mempelajari agama secara benar dengan sabar dan tekun merupakan jalan untuk sampai pada pemaham serta pengamalan yang benar, sehingga dapat terlepas dari penyakit perpecahan. Wallahu waliyyu at taufiq.
Daftar Rujukan:
1- CD Muhadharah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman dalam Daurah Syar’iyyah II di Surabaya. (Dalam CD kami pada Muhadharah 2). Dan ini merupakan acuan utama.
2- Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari.
3- Shahih Muslim Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha.
4- Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah.
5- Maa Ana ‘Alaihi Wa Ashabi, Ahmad Salam.
6- Iiqaz Al Himam, Al Muntaqa Min Jami’ Al Ululm Wal Hikam – Ibnu Rajab (Syaikh Salim Al Hilali).
7- Shahih Sunan Abi Dawud.
8- Bashair Dzawi Asy Syaraf Bi Syarh Marwiyat Manhaj As Salaf, oleh Syaikh Salim Ied Al Hilali, Maktabah Al Furqan.
9- Dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VII/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari, dalam Mawaqit Ash Shalah, no. 525; Fathul Bari II/8, Kitab Az Zakah no. 1435; Fathul Bari III/301, Kitab Ash Shiyam, no. 1895; Fathul Bari IV/110, Al Manaqib no. 3586; Fathul Bari VI/603-604, serta dalam Al Fitan no. 7096; Fathul Bari XIII/48. Juga dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, Al Fitan, Bab Fi Al Fitnah Allati Tamuuju Ka Mauji Al Bahri, Syarh Nawawi; Khalil Ma’mun Syiha no 7197 dan lain-lain. Lafadz hadits di atas adalah lafadz Imam Muslim.
[2]. Lihat misalnya pada kitab Iqazh Al Himam, Al Muntaqa Min Jami’ Al ‘Ulum Wal Hikam, Syaikh Salim Al Hilali, hadits ke 28.
[3]. Lihat beberapa keterangan tentang hadits itu. Di antaranya dalam, Basha’ir Dzawi Asy Syaraf Bi Syarhi Marwiyyat Manhaj As Salaf, Syaikh Salim Al Hilali, Maktabah Al Furqan, Cet. II th.1421 H/2000 M. hal. 75, 91, 92 dan 93]
[4]. Lihat Syarh Nawawi, takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Kitab Al Libas, Bab An Nisa’ Al Kasiyat Al ‘Ariyat Al Ma’ilat Al Mumilat, no. 5547 jilid XIV/335-336, dan Shifatul Jannah Wa Na’imiha, Bab An Nar Yadkhuluha Al Jabbarun Wal Jannah Yadkhuluha Adh Dhu’afa’, no.7123, XVII/187-188
[5]. Lihat Syarh Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha XVII/189
[6) Disampaikan oleh Syaikh Masyhur Hasan dalam muhadharah pada Daurah Syar’iyyah II di Surabaya. Dalam CD kami tertulis pada muhadharah 
Read more https://almanhaj.or.id/2908-perpecahan-sebagai-sunnah-kauniyah.html

POCONG DALAM AQIDAH ISLAM



Oleh : Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. –hafizhahullah-

Mungkin anda pernah mendengar istilah "pocong". Pocong secara bahasa adalah mayat yang dibalut kain kafan. Akan tetapi istilah ini terus berkembang sehingga terkadang jauh dari maknanya, karena adanya pengaruh aqidah (keyakinan) yang salah atau kesalahpahaman tentang arti pocong. Akhirnya, banyak di antara masyarakat yang memaknai bahwa pocong adalah mayat yang bangkit dan dapat berjalan atau bergerak ke sana kemari sesuai keinginannya.

Pocong kini diyakini oleh sebagian orang sebagai momok yang menakutkan lagi berbahaya. Menurut mereka, pocong itu hidup atau bangkit saat ikatan kain kafan mayat bagian kepala tak dilepas. Padahal semua itu hanyalah keyakinan dan khayalan batil!! Karena takut pocong, sebagian orang takut melanggar sumpahnya bila ia dimintai bersumpah pocong, yaitu sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berpakaian kain kafan (di pocong seperti mayat). Sebagian orang ada yang takut memandikan orang tua atau kerabatnya, dengan dalih bahwa ia takut jangan sampai tiba-tiba mayat itu bergerak. Subhanallah, alangkah jahilnya orang seperti ini!!

Keyakinan yang serupa juga muncul di negeri-negeri barat dan kafir lainnya. Itulah “drakula”, seorang tokoh dalam cerita horor di Eropa yang suka menghisap darah manusia yang menjadi mangsanya, sehingga muncul keyakinan bahwa drakula walaupun sudah mati, ia masih bisa bangkit mengisap darah manusia. Kaum kafir barat dan lainnya ada, yang meyakini Vampire atau Zombie, mayat yang menurut kepercayaan (orang Barat) bangkit kembali dari kubur, kemudian keluar pada malam hari dan mengisap darah manusia yang sedang tidur. Cerita vampire ini hampir serupa dengan drakula.

Aqidah pocong yang meyakini bahwa mayat dapat bangkit kembali amat memiliki pengaruh buruk pada masyarakat kita sehingga banyak di antara mereka yang takut keluar malam untuk suatu hajat, tak berani tidur di rumahnya saat ada kematian, tak mau ke kubur untuk ziarah, enggan bangun sholat malam dan lain sebagainya. Semua itu karena takut pocong menurutnya. Ini adalah keyakinan salah menurut syariat. Semua itu hanyalah cerita fiktif masyarakat jahiliah. Lucunya lagi, ada segerombolan anak sekolah yang iseng lagi jahil datang ke sebuah tempat gelap dengan memoles dirinya ala pocong. Mereka mengganggu sebagian orang yang lewat. Sedang orang-orang yang mereka takuti juga jahil sehingga ada di antara mereka yang hampir celaka akibat rasa takut yang menghantuinya. Ini adalah sebuah fenomena yang ada di masyarakat, sebagian orang meyakini bahwa pocong itu ada dan bisa mengganggu manusia.

Keyakinan salah seperti ini amat perlu dicermati dan diluruskan. Sebab apabila merebak, maka ia akan membawa dampak negatif bagi dunia dan akhirat seseorang. Para pembaca yang budiman, Allah -Azza wa Jalla- telah menjelaskan kepada kita dalam banyak ayat bahwa manusia tak akan dibangkitkan dari kuburnya sebelum waktu yang ditetapkan oleh Allah, yaitu tegak dan terjadinya hari kiamat.

Bila kiamat telah terjadi, maka bangkitlah seluruh makhluk dari kuburnya. Adapun sebelum itu, maka mayat tak akan bangkit, kecuali dalam beberapa kejadian yang telah ditentukan oleh Allah, seperti kejadian di zaman Nabi Musa dan Isa, yaitu ada sebagian mayat yang dibangkitkan oleh Allah karena suatu hikmah di balik itu.

Adapun selain itu, maka seseorang tak boleh meyakini adanya mayat yang bangkit dari kuburnya, kecuali berdasarkan dalil. Adapun isu yang tersebar bahwa ada mayat yang bangkit, maka mungkin berita itu bohong atau itu adalah permainan setan yang ingin menyesatkan manusia dengan jalan berpenampilan seperti pocong.

Aqidah kembalinya manusia dengan jasad dan rohnya ke dunia sebelum datangnya kiamat adalah perkara batil. Sebagian ahli bid'ah menyebutnya dengan roj'ah (الرَّجْعَةُ), yakni kembalinya ruh ke jasad sebelum kiamat. Ini jelas batil berdasarkan ayat dan hadits yang shohih. Banyak sekali dalil yang menjelaskan bahwa manusia setelah mati tak akan bangkit, kecuali pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah -Ta'ala-, baik dari Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' para ulama. Allah -Ta'ala- berfirman,

{قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (99) لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)} [المؤمنون: 99، 100]

"Dia (orang kafir yang sekarat) berkata," Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan". Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya itu adalah perkara yang diucapkannya saja.Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan".(QS. Al-Mu'minun: 99-100).

Al-Imam Abul Hasan Al-Barbahariy -rahimahullah-berkata dalam menjelaskan batilnya aqidah roj'ah,

"وبدعة ظهرت، هي كفر بالله العظيم، ومن قال بها فهو كافر، لا شك فيه: من يؤمن بالرجعة، ويقول: علي بن أبي طالب حي، وسيرجع قبل يوم القيامة، ومحمد بن علي وجعفر بن محمد، وموسى بن جعفر، وتكلموا في الإمامة، وأنهم يعلمون الغيب، فاحذرهم؛ فإنهم كفار بالله العظيم."

"Suatu bid'ah yang telah tampak merupakan kekafiran. Barang siapa yang menyatakannya, maka ia kafir kepada Allah, tanpa ada keraguan. Barang siapa yang berkeyakinan roj'ah (kembalinya ruh ke jasad sebelum kiamat dalam keadaan hidup), dan berkata, "Ali bin Abi Tholib masih hidup, dan akan kembali sebelum hari kiamat, dan juga Muhammad bin Ali, Ja'far bin Muhammad, dan Musa bin Ja'far; mereka akan berbicara tentang imamah (kepemimpinan), dan bahwa mereka mengetahui perkara ghaib, maka waspadailah orang-orang yang berkeyakinan seperti ini, karena mereka adalah orang-orang kafir kepada Allah Yang Maha Agung". [Lihat Syarhus Sunnah (hal. 57-58), tahqiq Al-Qohthoniy]

Abul Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Malthiy Asy-Syafi'iy -rahimahullah- berkata,

"فَكَذَلِك قَوْلهم فِي الرّجْعَة أكذبهم فِيهِ قَول الله تبَارك وَتَعَالَى {وَمن ورائهم برزخ إِلَى يَوْم يبعثون} يخبر أَن أهل الْقُبُور لَا يبعثون إِلَى يَوْم النشور فَمن خَالف لحكم الْقُرْآن فقد كفر." اهـــ من التنبيه والرد على أهل الأهواء والبدع (ص: 19)

"Demikian pula tentang keyakinan mereka dalam masalah roj'ah telah didustakan oleh firman Allah –Tabaroka wa Ta'ala- ,

وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (100)}[المؤمنون:  100]

"Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan". (QS.Al-Mu'minun : 100)
Allah mengabarkan bahwa para penghuni kubur tak akan dibangkitkan (dari kuburnya) sampai hari kebangkitan. Jadi, barangsiapa yang menyelisihi hukum Al-Qur'an ini, maka ia sungguh telah kafir". [Lihat At-Tanbih wa Ar-Rodd (hal. 19), karya Al-Malthiy]

Abdul Aziz bin Waliyullah Ad-Dahlawy -rahimahullah-berkata dalam mengingkari aqidah roj'ah,

وهذه العقيدة مخالفة صريحا للكتاب، فإن الرجعة قد أبطلت في أيات كثيرة منها قوله تعالى {قال رب ارجعون لعلي أعمل صالحا فيما تركت، كلا إنها كلمة هو قائلها ومن ورائهم برزخ إلى يوم يبعثون}." اهـ من مختصر التحفة الاثني عشرية (ص/ 201)

" Aqidah ini merupakan penyelisihan yang amat gamblang terhadap Al-Kitab, karena roj'ah sungguh telah dibatalkan dalam banyak ayat, di antaranya firman-Nya -Ta'ala-, "Dia (orang kafir yang sekarat) berkata, "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal sholeh terhadap yang telah aku tinggalkan". Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya itu adalah perkara yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan".(QS. Al-Mu'minun: 99-100).

Jadi, firman-Nya, "Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan", adalah gamblang sekali dalam meniadakan aqidah reinkarnasi secara mutlak".[LihatMukhtashor At-Tuhfah Al-Itsna Al-Asyariyyah(hal.201) karya Al-Alusy]

Ketika roh kita dicabut oleh malaikat maut, maka para malaikat mengangkatnya ke langit, maka setelah itu roh kita dikembalikan ke jasad agar roh dan jasad merasakan nikmat atau siksaan di alam kubur.

Kalau ada yang menyatakan, "Bukankah saat itu ruh kembali ke jasad, lalu hidup", maka perlu dipahami bahwa kehidupan itu adalah kehidupan alam barzakh, bukan kehidupan di alam dunia. Sedang roh bila sudah berada di alam barzakh, maka ia akan tertahan di sana, tak akan bebas gentayangan. Adapun isu adanya mayat atau roh gentayangan, kalau benar, maka itu bukan roh, tapi ia adalah setan yang menjelma untuk menyesatkan dan menakut-nakuti manusia.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam sebuah hadist panjang tentang siksa kubur yang diterima oleh seorang pembangkang,

وَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ لَهُ مَا دِينُكَ فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيَقُولَانِ مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ فَيَقُولُ هَاهْ هَاهْ لَا أَدْرِي فَيُنَادِي مُنَادٍ مِنْ السَّمَاءِ أَنْ كَذَبَ فَأَفْرِشُوهُ مِنْ النَّارِ وَأَلْبِسُوهُ مِنْ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ قَالَ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا قَالَ وَيُضَيَّقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلَاعُهُ زَادَ فِي حَدِيثِ جَرِيرٍ قَالَ ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَبْكَمُ مَعَهُ مِرْزَبَّةٌ مِنْ حَدِيدٍ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ لَصَارَ تُرَابًا قَالَ فَيَضْرِبُهُ بِهَا ضَرْبَةً يَسْمَعُهَا مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ فَيَصِيرُ تُرَابًا قَالَ ثُمَّ تُعَادُ فِيهِ الرُّوحُ

"Rohnya dikembalikan ke jasadnya. Dia pun di datangi oleh dua orang malaikat. Keduanya mendudukkan orang itu seraya berkata kepada orang itu,"Siapakah Robb-mu?" Ia berkata, "Oh, oh, tak tahu". Lalu keduanya berkata, "Siapakah orang (yakni, Rasul) yang diutus kepada kalian?"Ia menjawab, "Oh, oh, aku tak tahu". Kemudian ada yang berteriak dari langit,"Orang itu bohong, berilah hamparan baginya berupa api neraka, berilah pakaian berupa api neraka dan bukakanlah pintu baginya menuju neraka. Orang ini pun didatangi oleh panas dan racun neraka. Kuburnya dipersempit sampai tulang belulangnya bersilangan. Kemudian ditugaskan baginya malaikat (Zabaniyah) yang buta lagi bisu, disertai palu godam dari besi. Andaikan dipukulkan pada sebuah gunung, maka gunung itu akan menjadi tanah. Kemudian malaikat itu memukulnya dengan sebuah pukulan yang didengarkan segala sesuatu yang ada di antara timur dan barat, kecuali jin dan manusia. Orang itu pun berubah menjadi tanah. Kemudian dikembalikan lagi rohnya". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4753). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (131)]

Hadist ini menjelaskan kepada kita bahwa roh yang kembali ke jasad saat kematian, bukanlah dikembalikan ke alam dunia, tapi ke alam kubur (alam barzakh). Rohnya dikembalikan agar keduanya merasakan nikmat atau siksaan di alam kubur. Bila ia baik, maka ia akan merasakan nikmat. Tapi bila ia buruk, maka ia akan merasakan siksaan. Inilah beberapa patah kata dan seuntai dalil yang mengingkari aqidah pocong ini. Semoga kita telah mengerti duduk permasalahannya dan tidak lagi salah dalam berkeyakinan.


Sumber: https://abufaizah75.blogspot.com/2017/10/aqidah-pocong-adakah-dalam-islam.html

Rabu, 23 Januari 2019

KAFIR QURAISY JUGA MENGENAL ALLAH DAN RAJIN IBADAH


Kaum muslimin, semoga Allah meneguhkan kita di atas Islam yang haq. Sesungguhnya salah satu penyebab utama kemunduran dan kelemahan umat Islam pada masa sekarang ini adalah karena mereka tidak memahami hakikat kejahiliyahan yang menimpa bangsa Arab di masa silam. Mereka menyangka bahwasanya kaum kafir Quraisy jahiliyah adalah orang-orang yang tidak beribadah kepada Allah sama sekali. Atau lebih parah lagi mereka mengira bahwasanya kaum kafir Quraisy adalah orang-orang yang tidak beriman tentang adanya Allah [?!] Duhai, tidakkah mereka memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan lembaran sejarah yang tercatat rapi dalam kitab-kitab hadits ?

Kaum Kafir Quraisy Betul-Betul Mengenal Allah
Janganlah terkejut akan hal ini, cobalah simak firman Allah ta’ala,
Dalil pertama, Allah ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)

Dalil kedua, firman Allah ta’ala,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf : 87)

Dalil ketiga, firman Allah ta’ala,

لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. al-’Ankabut: 63)

Dalil keempat, firman Allah ta’ala,

أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ


“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml: 62)

Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah katakan terhadap mereka,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf : 106)

Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”

‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)

Syaikh Shalih Al-Fauzan  hafizhahullah   menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada masa itu mengakui Allah subhanahuwata’ala  adalah pencipta, pemberi rezki serta pengatur urusan hamba-hamba-Nya. Mereka meyakini di tangan Allah lah terletak kekuasaan segala urusan, dan tidak ada seorangpun diantara kaum musyrikin itu yang mengingkari hal ini (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat) Dan janganlah anda terkejut apabila ternyata mereka pun termasuk ahli ibadah yang mempersembahkan berbagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.

Kafir Quraisy  Rajin Beribadah
Anda tidak perlu merasa heran, karena inilah realita. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah menceritakan bahwasanya kaum musyrikin yang dihadapi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang rajin beribadah. Mereka juga menunaikan ibadah haji, bersedekah dan bahkan banyak berdzikir kepada Allah. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik juga berhaji dan melakukan thowaf adalah dalil berikut.

Dan telah menceritakan kepadaku Abbas bin Abdul ‘Azhim Al Anbari telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Yamami telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar telah menceritakan kepada kami Abu Zumail dari Ibnu Abbas ia berkata; Dulu orang-orang musyrik mengatakan; “LABBAIKA LAA SYARIIKA LAKA (Aku memenuhi panggilanMu wahai Dzat yang tiada sekutu bagiMu). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْلَكُمْ قَدْ قَدْ فَيَقُولُونَ إِلَّا شَرِيكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ

“Celakalah kalian, cukuplah ucapan itu dan jangan diteruskan.” 

Tapi mereka meneruskan ucapan mereka; ILLAA SYARIIKAN HUWA LAKA TAMLIKUHU WAMAA MALAKA (kecuali sekutu bagi-Mu yang memang Kau kuasai dan ia tidak menguasai).” Mereka mengatakan ini sedang mereka berthawaf di Baitullah. (HR. Muslim no. 1185)

Mengomentari pernyataan Syaikh Muhammad At Tamimi di atas, Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwa kaum musyrikin Quraisy yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum yang beribadah kepada Allah, akan tetapi ibadah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka karena ibadah yang mereka lakukan itu tercampuri dengan syirik akbar. Sama saja apakah sesuatu yang diibadahi disamping Allah itu berupa patung, orang shalih, Nabi, atau bahkan malaikat. Dan sama saja apakah tujuan pelakunya adalah demi mengangkat sosok-sosok tersebut sebagai sekutu Allah atau bukan, karena hakikat perbuatan mereka adalah syirik. Demikian pula apabila niatnya hanya sekedar menjadikan sosok-sosok itu sebagai perantara ibadah dan penambah kedekatan diri kepada Allah. Maka hal itu pun dihukumi syirik (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Dua Pelajaran Berharga
Dari sepenggal kisah di atas maka ada dua buah pelajaran berharga yang bisa dipetik. 
Pertama; pengakuan seseorang bahwa hanya Allah lah pencipta, pemberi rezki dan pengatur segala urusan tidaklah cukup untuk membuat dirinya termasuk dalam golongan pemeluk agama IslamSehingga sekedar mengakui bahwasanya Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur belum bisa menjamin terjaganya darah dan hartanya. Bahkan sekedar meyakini hal itu belum bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan Allah.
Kedua; apabila peribadatan kepada Allah disusupi dengan kesyirikan maka hal itu akan menghancurkan ibadah tersebut. Oleh sebab itu ibadah tidak dianggap sah apabila tidak dilandasi dengan tauhid/ikhlas (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Dengan demikian sungguh keliru anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwasanya tauhid itu cukup dengan mengakui Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Dan dengan modal anggapan yang terlanjur salah ini maka merekapun bersusah payah untuk mengajak manusia mengenali bukti-bukti alam tentang keberadaan dan keesaan wujud-Nya dan justru mengabaikan hakikat tauhid yang sebenarnya. Atau yang mengatakan bahwa selama orang itu masih mengucapkan syahadat maka tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkan keislamannya. Atau yang membenarkan berbagai macam praktek kesyirikan dengan dalih hal itu dia lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Atau yang mengatakan bahwa para wali yang sudah meninggal itu sekedar perantara untuk bisa mendekatkan diri mereka yang penuh dosa kepada Allah yang Maha Suci. Lihatlah kebanyakan praktek kesyirikan yang merebak di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang ini, maka niscaya alasan-alasan semacam ini -yang rapuh serapuh sarang laba-laba- yang mereka lontarkan demi melapangkan jalan mereka untuk melestarikan tradisi dan ritual-ritual syirik.

‘Kita ‘Kan Tidak Sebodoh Kafir Quraisy’
Barangkali masih ada orang yang bersikeras mengatakan,“Jangan samakan kami dengan kaum kafir Qurasiy. Sebab kami ini beragama Islam, kami cinta Islam, kami cinta Nabi, dan kami senantiasa meyakini Allah lah penguasa jagad raya ini, tidak sebagaimana mereka yang bodoh dan dungu itu!” Allahu akbar, hendaknya kita tidak terburu-buru menilai orang lain bodoh dan dungu sementara kita belum memahami keadaan mereka. Saudaraku, cermatilah firman Allah ta’ala,

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (89)

“Katakanlah; ‘Milik siapakah bumi beserta seluruh isinya, jika kalian mengetahui ?’ Maka niscaya mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’. Katakanlah,’Lalu tidakkah kalian mengambil pelajaran ?’ Dan tanyakanlah; ‘Siapakah Rabb penguasa langit yang tujuh dan pemilik Arsy yang agung ?’ Niscaya mereka menjawab,’Semuanya adalah milik Allah’ Katakanlah,’Tidakkah kalian mau bertakwa’ Dan tanyakanlah,’Siapakah Dzat yang di tangannya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia lah yang Maha melindungi dan tidak ada yang sanggup melindungi diri dari azab-Nya, jika kalian mengetahui ?’ Maka pastilah mereka menjawab, ‘Semuanya adalah kuasa Allah’ Katakanlah,’Lantas dari jalan manakah kalian ditipu?.'” (QS. Al-Mu’minuun: 84-89)

Nah, ayat-ayat di atas demikian gamblang menceritakan kepada kita tentang realita yang terjadi pada kaum musyrikin Quraisy dahulu. Meyakini tauhid rububiyah tanpa disertai dengan tauhid uluhiyah tidak ada artinya. Maka sungguh mengherankan apabila ternyata masih ada orang-orang yang mengaku Islam, rajin shalat, rajin puasa, rajin naik haji akan tetapi mereka justru berdoa kepada Husain, Badawi, Abdul Qadir Al-Jailani. Maka sebenarnya apa yang mereka lakukan itu sama dengan perilaku kaum musyrikin Quraisy yang berdoa kepada Laata, ‘Uzza dan Manat. Mereka pun sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka minta adalah sekedar pemberi syafaat dan perantara menuju Allah. Dan mereka juga sama-sama meyakini bahwa sosok yang mereka jadikan perantara itu bukanlah pencipta, penguasa jagad raya dan pemeliharanya. Sungguh persis kesyirikan hari ini dengan masa silam. Sebagian orang mungkin berkomentar, “Akan tetapi mereka ini ‘kan kaum muslimin” Syaikh Shalih Al-Fauzan menjawab,“Maka kalau dengan perilaku seperti itu mereka masih layak disebut muslim, lantas mengapa orang-orang kafir Quraisy tidak kita sebut sebagai muslim juga ?! Orang yang berpendapat semacam itu tidak memiliki pemahaman ilmu tauhid dan tidak punya ilmu sedikitpun, karena sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti hakikat tauhid” (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhaat, Syaikh Shalih Al-Fauzan)



Sumber    https://muslim.or.id/2546-kafir-quraisy-juga-mengenal-allah-dan-rajin-ibadah.html